Sabtu, 10 Oktober 2020

Mencari Cara untuk Bahagia

Dunia seringkali menipu kita dengan menjanjikan kebahagiaan.




Saat Sekolah


Saat kita dulu masih sekolah, kita berharap cepat-cepat lulus ujian nasional. Ujian nasional saat itu sangat mendebarkan, kita ditakut-takutkan. Apabila tidak lulus, hancurlah masa depan kita. Dan apabila nilai ujian nasional kita bagus, maka cerahlah masa depan kita.

Setelah Ujian Nasional itu berakhir, kita pun bahagia. Memilih melakukan berbagai macam cara untuk merayakan. Ada yang memilih untuk menonton film-film kesukaannya sepuas-puasnya di rumah. Ada yang memilih dengan mengadakan acara coret-coretan seragam bersama teman-teman.

Apapun itu acaranya, kita merasa jadi orang paling merdeka, kita bahagia.

Namun, hanya untuk beberapa hari.

Selanjutnya, kita dihadapkan lagi dengan kuliah atau kerja.

Ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit, kita pun stres kembali.

Dimana kah kebahagiaan saat coret-coret seragam itu? Kebahagiaan itu semakin lama terus semakin pudar, karena hidup pun harus terus berlanjut.

Suatu hari, kita mendapatkan pengumuman bahwa akhirnya kita lulus di universitas favorit atau mendapatkan pekerjaan yang kita idam-idamkan. Kita pun bahagia lagi!

Kita pun berpikir =, "Aha, akhirnya inilah saatnya aku menjalani hidup yang membahagiakan!"

Pengumuman yang membahagiakan itu pun ternyata semu. Ada kesulitan-kesulitan semasa kuliah atau kerja, yang terkadang kala membuat kita stres. Terkadang kala juga membuat kita putus asa dan ingin berhenti dari apa yang saat ini sedang kita jalani.

Saat Kuliah atau Kerja


Untuk yang sedang kuliah, kesulitan-kesulitan pun dijalani, hingga tibalah puncak kesulitan paling dasyat tiba: skripsi. Kita pun berusaha dengan segala macam cara untuk dapat menyelesaikan skripsi, dengan bayangan..."Wah, setelah lulus aku bisa cepet kerja terus dapat duit banyak."

Setelah skripsi itu selesai dan akhirnya kita wisuda, ternyata kenyataan pun tak sesuai dengan bayangan yang indah. Harus merasakan panas-panasan kesana kemari mengikuti proses rekrutmen dan seleksi di berbagai perusahaan. Harus merasakan tidak nyamannya ketika kamu ditolak oleh perusahaan tempat kamu melamar. dan belum lagi menghadapi rasa tidak nyaman ketika tetangga mulai nyinyir.."lulusan S1 kok belum kerja sih?"

Untuk yang sudah kerja, ternyata kesulitan-kesulitan itu tetap ada, malah kadangkali berat. Harus menghadapi kenyataan bahwa kerjaan kadang tak sesuai dengan gaji yang didapatkan. yang gajinya besar, mengeluh bahwa lingkungan kerja dan teman-temannya sangat tidak nyaman dan membuatnya kehilangan semangat. Beberapa orang juga mengeluh bahwa ia benci dengan apa yang ia kerjakan setiap hari, kalo kata orang-orang "kerjaan gue gak sesuai passion!"

Ada yang memutuskan untuk bertahan. Ada yang memilih resign. Ada yang memilih mencari kerjaan baru.

Setelah resign, kita merasa terbebas. terbebas dari kezoliman kalo kata orang-orang. Ada juga yang merasa terbebas dari perbudakan duniawi.

Tetapi, itu hanya sementara saja, perasaan merdeka hanya terasa 2-3 bulan setelah resign.

Setelah itu pun kita pusing, selanjutnya apa yang harus kita lakukan?

Uang mulai habis, tabungan mulai menipis..

Lalu, dimana kah letak kebahagiaan itu?     

Lalu, kapan kita bisa menemukan kebahagiaan?    

2 komentar:

  1. Hmm, saya mencari jawaban malah dihadapkan pada pertanyaan. 😤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena setiap pertanyaan yang kita ajukan keluar, seringkali sebenarnya jawabannya sudah ada di dalam diri 🙂

      Hapus