Selasa, 20 Maret 2018

Surat untuk klien-klienku

"Aku malu.." dia berkata dengan pelan sambil mengusap wajahnya dengan tisu. "Aku sudah berjanji dengan diriku bahwa aku tidak akan menangis hari ini".

Dear Klien,

Ini adalah surat untukmu, pada setiap dari kamu yang berani untuk terapi denganku. Pesan ini aku sampaikan dari hati yang paling dalam. Aku ingin kamu tahu bahwa aku memperhatikanmu yang duduk dihadapanku. Aku bisa merasakan rasa sakitmu, dan bahkan ketidaknyamanmu. Aku memperhatikan matamu yang berkaca-kaca. Aku memperhatikan kamu yang sedang berjuang untuk menghentikan tangisanmu. Sejujurnya, aku ingin memujimu ketika kamu memutuskan untuk meneteskan air mata. Air mata itu jatuh dengan begitu lembut di wajahmu, dan daripada merasa malu, aku harap kamu akan merasa lega. Keberanianmu untuk menangis ini adalah harapan untukku.

Aku ingin memujimu atas keputusanmu untuk datang hari ini; aku tahu itu tidak mudah. Mungkin kamu datang dengan harapan bisa bercengkerama denganku. Mungkin kamu merasakan jantung mu berdetak kencang ketika mengecek jadwal pertemuan denganku. Namun, apapun itu, aku ingin memujimu. Aku mengakui bahwa membuat keputusan untuk datang terapi bukanlah sesuatu yang mudah. Pilihan ini bukanlah pilihan yang sederhana karena apa yang kita lakukan di terapi ini merupakan sesuatu yang dianggap memalukan di masyarakat.

Sedihnya, tangisan telah berkembang menjadi tanda kenarsisan, kekanak-kanakan, dan bentuk ingin menyenangkan diri sendiri. Padahal, beberapa tulisan paling awal tentang emosi manusia menggambarkan air mata sebagai respons yang menenangkan, memuaskan, dan bahkan mengurangi kesedihan yang mendalam. Sepanjang sejarah, air mata telah digambarkan sebagai kesenangan untuk mengimbangi rasa sakit, sekaligus tanda ketulusan.

Bahkan, epik kepahlawanan dari Yunani Kuno sampai abad pertengahan disimbolkan dengan pria menangis. Namun, seiring waktu pria didorong untuk bersikap tanpa emosi dan tabah. Menampilkan air mata menjadi simbol kelemahan bagi kita semua. 

Aku ingin kamu tahu bahwa ketika kamu menangis, aku tidak melihat itu sebagai kelemahan atau bentuk mengasihani diri sendiri. Meski pengalamanmu terasa sangat menyakitkan untukmu, tolong ketahuilah bahwa aku tidak memandang kamu remeh atau lemah. Aku melihatmu kamu berani. Kamu berani mengungkapkan rasa sakitmu yang terdalam, saat-saat terberatmu, dan traumamu. Berbagi tentang rasa sakit dan kehilanganmu. Terkadang kamu mengucapkan kata-kata yang tak pernah disampaikan dengan lantang. Kamu membuat keputusan untuk datang terapi, dan kamu memiliki keberanian untuk berbagi air matamu yang berharga denganku.

Mengapa sesuatu yang begitu alamiah, hal yang dapat dilakukan oleh mata kita, dipandang sangat negatif? Mungkin kita harus mempertanyakan gagasan ini. Mungkin kita harus mengubah ide ini dan memandang tangisan sebagai upaya katarsis, sebuah pelepasan. Menangislah. Tangisanmu itu mewakili kesedihan yang ditahan tubuhmu selama ini, dan aku ingin memberi kamu izin untuk melepaskannya.

Saat kamu menangis, tubuh dan pikiranmu sedang terhubung dan berkomunikasi. Sebagai anak-anak kita menangis untuk mengekspresikan suatu kebutuhan, rasa sakit, atau frustrasi. Mekanisme ini tidak berubah seiring bertambahnya usia, meskipun kita mungkin meneteskan air mata lebih sedikit. Mungkin kita harus berhenti menanggapi sitgma negatif dan mulai mendengarkan suara batin kita. Alih-alih cepat-cepat menyeka air mata saat kita menangis, kita harus menerima tangisan itu dan bertanya kepada diri sendiri, "Apa yang paling aku butuhkan saat ini?"

source: psychologytoday.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar